Sebuah pengamatan dilakukan di
pesimpangan Ring Road Utara pada tanggal 11 Oktober 2012. Fokus pengamatan
adalah fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar persimpangan pada pagi hari.
Pengamatan dilakukan pukul 06:25 WIB, dengan durasi pengamatan kurang lebih
tiga puluh menit.
Secara umum, pemandangan yang ada
hanyalah keadaan lalu lintas yang padat, namun apabila diperhatikan baik-baik,
fenomena yang ada di sekitar persimpangan jalan lingkar utara ini cukup menarik.
Tahukah bahwa lalu lintas itu berbicara?
Ada beberapa hal yang diamati pada
pengamatan ini.
Pertama, wajah para pengemudi yang
rata-rata hampir sama ekspresinya, yaitu panik karena tergesa-gesa, marah,
mengantuk, atau bahkan tanpa ekspresi sama sekali ketika melamun menunggu lampu
apil berganti hijau. Hal yang menarik untuk diamati adalah ketika para
pengemudi tersebut saling ‘memperebutkan’ tempat terdepan di pemberhentian
lampu merah. Beberapa pengemudi motor mendahului kendaraan lain yang sudah
berhenti. Mereka melalui sisi kiri jalan dan berhenti di barisan terdepan,
tanpa menghiraukan bahwa posisinya menutupi bagian kiri ruas jalan yang
diperuntukkan bagi para pengendara yang akan berbelok kiri. Pada situasi
semacam ini, papan pengatur lalu lintas berwarna biru bertuliskan “BELOK KIRI
JALAN TERUS” dapat dikatakan tidak laku karena tidak memperoleh perhatian dan
tanggapan riil dari para pengemudi. Fungsinya sebagai pengatur lalu lintas
menjadi tidak effektif. Akibatnya, beberapa saat kemudian klakson motor dan
mobil saling bersautan.
Terlihat bahwa mayoritas dari para
pengemudi berada dalam situasi yang tergesa-gesa. Entah terburu-buru karena
telat berangkat ke sekolah, tergesa-gesa menuju tempat kerja, atau mungkin
menuju bandara untuk mengejar jadwal penerbangan pagi. Namun lucunya, sebagai
sesama pengguna jalan yang sedang berada dalam situasi yang juga sama, mereka
kurang peka terhadap kepentingan pengendara lainnnya. Etika berlalu-lintas yang
ada tampaknya kurang menjelma dalam kesadaran pengemudi sehingga pada praktik
nyatanya masih sering terjadi pelanggaran
hak dalam berlalu lintas. Dua polisi tampak berdiri mengawasi lalu lintas dari
divider jalan. Lalu lintas sangat padat dan banyak pengemudi yang berkendara
tanpa etika, namun tampaknya keadaan ini masih tergolong ‘baik-baik saja’
sehingga tidak ada campur tangan dari kedua polisi tersebut.
Kedua, seorang wanita pengemis yang
terlihat duduk di tengah divider jalan. Pengemis tersebut adalah seorang
ibu-ibu tua berbadan gemuk. Ia
mengenakan sebuah kebaya khas jawa jaman dulu yang berwarna oranye-salm sebagai
atasan dengan jarik batik berwarna cokelat-bata sebagai rok. Sekilas
mengingatkan pada pakaian Ibu Kartini dalam foto dan lukisan yang pada sering
dipajang dalam ruang kelas sekolah-sekolah dasar dan menengah. Ibu ini sudah
sering terlihat di persimpangan Ring Road Utara, terutama pada malam hari.
Suatu hal yang khas dari pengemis ini adalah senyumnya, Ia tidak sekedar
mengucapkan ‘matur nuwun’ tetapi juga memberi senyuman tulus pada setiap orang
yang memberinya uang.
Ketiga, para loper koran yang berjualan
di pinggir jalan. Sama halnya dengan ibu-ibu pengemis tadi, para loper koran
terlihat banyak berdiri dan berjalan di pinggir jalan. Keadaan jalan yang
sangat padat oleh kendaraan bermotor menyebabkan mereka tidak bisa turun ke
jalan karena tidak ada celah yang cukup luas untuk berjalan di antara
kendaraan. Tampaknya karena hal itulah para loper koran menawarkan dan
mempromosikan dagangannya hanya dari divider dan trotoir saja. Meskipun sesekali
mereka menghampiri pengemudi yang memanggilnya untuk membeli surat kabar.
Pengamatan diakhiri pada pukul 06:55
WIB. Pada saat pengamatan diakhiri, keadaan jalan masih padat, bahkan lebih
padat dari sebelumnya. Ibu-ibu pengemis tampak sedang turun di jalan dan
meminta-minta uang kepada para pengemudi. Sedangkan seorang loper koran berdiri
di trotoir sembari menunggu lampu apill berganti merah.
Banyak fenomena di jalan yang ‘mengkomunikasikan’
pesan mengenai keadaan masyarakat. Mungkin bahkan berteriak meminta perhatian. Ketika
duduk di dalam mobil ber-AC dengan jendela tertutup rapat atau mengemudikan motor dengan helm menutupi
telinga, hal-hal kecil yang ada di sekitar mungkin tidak akan disadari dan
terlewatkan bergitu saja.
Namun sebenarnya, lalu lintas sungguh
sedang berbicara tentang realita kehidupan yang sedang berlangsung. Tidak hanya
kehidupan di jalan atau di satu perempatan saja, tetapi juga tentang kehidupan
manusia secara umum. Jalan merupakan tempat dimana masyarakat yang tidak saling
kenal saling bertemu dan secara tidak langsung menjadi harus ‘berinteraksi’
sebagai sesama pengguna jalan. Dengan demikian interaksi yang terjadi disini
merupakan interaksi yang spontan. Para pengguna jalan tidak pernah merencanakan
untuk memakai jalan A dan nantinya bertemu orang X di jalan itu. Karenanya,
lalu lintas dalam hal ini dikatakan sebagai cerminan dari cara masyarakat
berinteraksi secara natural dalam kehidupan sosialnya.
Pengendara yang kurang peka terhadap
kepentingan sesama pengguna jalan, jalan raya yang penuh dengan kendaraan sehingga
pengemis dan loper koran terhambat untuk mencari nafkah, dan petugas keamanan
yang diam saja ketika etika tidak dipatuhi. Itu semua dikomunikasikan oleh
keadaan lalu lintas, dan itu semua adalah cerminan sederhana dari apa yang
sedang terjadi saat ini. Masyarakat yang memakan hak sesamanya, kompetisi
ekonomi yang semakin berat dan menjadikan rakyat kecil semakin terdesak, dan hukum
yang tampaknya masih lemah di dalam kesadaran masyarakat.
Itulah keadaan yang masih terjadi dalam
masyarakat. Orientasi terhadap perubahan harus didukung oleh kemauan untuk
bertindak menuju pada arah perbaikan. Perbaikan tidak hanya harus dilakukan
pada hal-hal secara makro saja, namun justru harus dimulai dari hal-hal terkecil
yang ada di sekitar masyarakat. Salah satunya, tata-cara dan sopan-santun
berlalu lintas, sebagai bentuk sikap peduli dan respect terhadap kepentingan
bersama dalam tatanan kehidupan. #bridgingcourse08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar