Minggu, 05 Mei 2013

Satu Langkah ke Masa Lalu Media Komunikasi


Study Tour  : Lokananta & Monumen Pers Nasional  

Pada hari Kamis, 2 Mei 2013 lalu, kelas matakuliah Sejarah Komunikasi dan Media dari Jurusan Ilmu Komunikasi UGM mengadakan studi tur ke Solo. Pada kesempatan ini,  dilakukan kunjungan ke dua tempat bersejarah yang memiliki arti dan peran serta yang penting dalam sejarah perkembangan media di Indonesia, yaitu Lokananta dan Monumen Pers.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ir. Soekarno dengan semboyannya  “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” – yang biasa disingkat menjadi Jas Merah, sejarah perlu selalu dibina dan dilestarikan untuk menjaga kearifan budaya dan jati diri masyarakat selaku keturunan leluhur bangsa. Kehidupan bangsa saat ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai peristiwa yang telah dilewati sejarah. Perlu diingat bahwa sejarah terbentuk dari jaring-jaring kehidupan masa lalu yang saling tumpang-tindih, menopang sekaligus menggugurkan satu sama lain, dan di lain sisi juga membaurkan berbagai aspek kehidupan di masa lalu, seperti aspek ekonomi, politik, pendidikan,  penerapan teknologi, dan budaya. Pembauran dari aspek-aspek kehidupan ini-lah yang kemudian melahirkan tatanan kehidupan sebagaimana adanya saat ini. Demikian pula halnya dengan kehidupan media di Indonesia. Keberadaan media komunikasi di masa kini tidak terlepas dari perkembangan dan jatuh-bangun peradaban media pada periode-periode sebelumnya. Perkembangan media dan fasilitas media komunikasi di Indonesia pun tampaknya juga senantiasa berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Melalui kunjungan ke Lokananta dan Monumen Pers ini, para mahasiswa pengampu mata kuliah Sejarah Komunikasi dan Media dari jurusan Ilmu Komunikasi UGM berusaha menggali dan mengeksplorasi sejarah dan perkembangan media di Indonesia, sebagai sebuah usaha untuk memperluas wawasan mengenai jati diri bangsa dan kompleksitas sejarah media di Indonesia.
Tempat bersejarah yang menjadi objek kunjungan pertama adalah Lokananta. Nama Lokananta diambil dari nama seperangkat alat Gamelan di Suralaya, yaitu Istana Dewa-dewa di Khayangan dalam legenda pewayangan. Dalam legenda ini dikisahkan bahwa Gamelan Lokananta dapat berbunyi sendiri tanpa penabuh.
Pada suatu masa dalam sejarah, Lokananta merupakan satu-satunya studio rekaman di Indonesia, sekaligus menjadi mayor label dalam industri musik Indonesia. Pada masa-masa itu-lah Lokananta meraih masa-masa keemasannya. Selama tiga dekade (1960 – 1980) Lokananta menjadi pelopor dalam dunia rekaman di Indonesia, yang memproduksi piringan hitam dan pita ring master. Tidak hanya itu, Lokananta juga mengorbitkan artis-artis legendaris yang merupakan pemusik papan atas di masa itu, seperti Titik Puspa, Adi Bing Slamet, Gesang, dan Waldjinah. Tidak heran apabila pada masa kejayaan ini nama Lokananta sangat dikenal di berbagai penjuru Tanah Air. Anak muda maupun orang tua pasti tidak asing dengan nama pelpor studio rekaman ini.
Pada tahun 1990-an, Lokananta mengalami masa-masa sulit yang mengakibatkan terjadinya kemunduran dalam banyak hal. Pada masa ini penjiplakan mulai tumbuh subur di Tanah Air, yang tentunya  sangat merugikan Lokananta selaku produsen musik. Seiring dengan maraknya fenomena penjiplakan, terdapat 70 label baru yang berkembang pesat dan menjadi alternatif bagi pasar yang tadinya hanya dikuasai oleh Lokananta. Tidak hanya itu, pada tahun 1998-an Lokananta harus menanggung beban yang berat akibat adanya kebijakan Likuidasi BUMN oleh Presiden Gusdur. Dengan adanya kebijakan tersebut, Lokananta terbelit berbagai permasalahan terkait birokrasi perusahaan dan hubungan administratif dengan pemerintah. Akibatnya, hingga tahun 2001, kehidupan Lokananta terkatung-katung. Kepemimpinan Lokananta berganti-ganti dalam periode yang singkat, pemasaran yang dilakukan nyaris mendekati nol hingga kegiatan pasar pada akhirnya ditutup dan Lokananta dikatakan failiet (2001). Mengingat betapa luar biasanya aset yang dimiliki Lokananta untuk proses perekaman suara, maka hal utama yang dilakukan dalam menempuh masa-masa sulit ini adalah menjaga dan merawat aset-aset Lokananta.
Kini Lokananta tengah berada dalam tahap konsolidasi. Berkat segenap usaha promosi sukarela, dan berbagai bantuan serta kerjasama yang diperoleh, Lokananta kembali  mengalami perkembangan yang positif dan signifikan di masa kini. Setelah melalui fase-fase yang bagaikan “mati suri” tersebut, kunjungan ke Lokananta di hari-hari ini pun meningkat, baik kunjungan yang bersifat lokal maupun nasional.  Pada tahap konsolidasi ini Lokananta hendak berkembang untuk mewujudkan diri sebagai museum perekaman di Indonesia. Melalui  perkembangan ini, diharapkan agar Lokananta dapat menyebarluaskan budaya dan mengemban visinya sebagai pusat pengembangan budaya.
Di sisi lain, Lokananta terus menjalankan aktivitas rekamannya, yang akhir-akhir kerap diminati oleh artis-artis papan atas seperti Glenn Fredly, Efek Rumah Kaca, White Shoes, dan lain-lain. Aktivitas yang dijalani di Lokananta meliputi seluruh kegiatan dalam memproses musik secara utuh, yaitu mulai dari rekaman hingga mastering, dan dari produksi sampai pemasaran. Atau, sebagaimana tertera pada papan namanya, kegiatan dan fasilitas yang tersedia di Lokananta meliputi Recording Studio, Audio Video Duplicating, Broadcasting, Multimedia, Printing, dan Publishing. Dalam melakukan berbagai aktivitas ini, studio Lokananta masih mempertahankan penggunaan aset yang dimiliki sejak jaman dulu. Kualitas dari aset-aset tersebut memang terbilang luar biasa, yang sebagian besar teryata merupakan barang-barang produksi Eropa.
Belakangan ini Lokananta juga menjalin hubungan kerja sama dengan salah satu universitas di Semarang. Kerja sama ini bertujuan untuk menciptakan sebuah gamelan touchscreen, yang memungkinkan seseorang membunyikan gamelan tanpa menghadirkan peralatan musik gamelan secara fisik. Hal yang ingin dipertahankan dan dilestarikan melalui innovasi ini adalah suara (audio) dari gamelan itu sendiri. Penemuan ini bertumpu pada pemikiran bahwa sejarah tidaklah semata-mata bertumpu pada artefak-artefak fisik yang tampak secara visual. Artefak-artefak berupa audio juga merupakan peninggalan sejarah yang penting, khususnya jika dikaitkan dengan konteks perkembangan media dan komunikasi di masa lalu. Oleh karenanya, artefak audio juga perlu dilestarikan dan dibina oleh para anggota budaya bangsa. Di India, misalnya, gamelan sudah dijiplak dan diakui sebagai budaya setempat. Sekalipun alat musik yang ada di India tersebut berbeda wujud fisiknya dari gamelan yang ada di Indonesia, suaranya ternyata sama.
Target kunjungan kedua pada hari itu adalah Monumen Pers Nasional. Monumern Pers Nasional merupakan salah satu jejak peninggalan sejarah pers Indonesia. Monumen Pers Nasional
Gedung yang kini dikenal sebagai Monumen Pers Nasional itu pada awalnya bernama Sociteit Sasana Suka, yang didirikan oleh Sri Mangkunegoro VII pada tahun 1918. Gedung ini telah melahirkan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia pada tanggal 9 Februari 1946. Bersama dengan pergerakan perjuangan bangsa Indonesia di masa itu, PWI merupakan pilar dari perjuangan pers nasional, yang turut berperan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam gerbang kemerdekaan.
Monumen Pers Nasional mengabadikan berbagai peninggalan sejarah pers dalam berbagai rupa koleksi. Mulai dari benda-benda pers yang unik dan bersejarah – seperti Pemancar Radio Kambing (disebut demikian karena pada masa penjajahan dulu sempat disembunyikan di dalam kandang kambing agar tidak tertawan oleh pasukan colonial), Mesin Ketik Bakie Soerieatmaja, dan Baju Pers Hendro Soebroto (seoarng wartawan perang yang pernah mengalami perang sengit pada masa pengintegrasian Timor-Timur), hingga beragam koran, majalah, dan literatur kuno yang sudah ada sejak jaman penjajahan. Menarik, di tempat di mana berbagai wujud literatur peninggalan sejarah terdokumentasikan secara rapih dan terstruktur ini, kita bisa mengakses dan menemukan kesinambungan di antara bahan-bahan bacaan dan informasi yang pernah ‘menerpa’ para generasi terdahulu sehingga dapat memahami konteks kehidupan pada masa itu secara lebih luas.
Dalam rangka melestarikan dan membina sejarah pers nasional di Indonesia, monument pers juga dilengkapi oleh berbagai fasilitas edukatif yang terbuka untuk umum. Baik fasilitas maupun koleksi yang tersedia merupakan pelayanan berbasis sejarah untuk mewujudkan Monumen Nasional Pers sebagai Pusat Rujukan Pers Nasional berbasis Teknologi Informasi. E-Paper, Media Center, Papan paca, dan perpustakaan merupakan beberapa contoh dari sekian banyak fasilitas yang disediakan oleh Monumen Pers Nasional.
Tidak ada titik akhir dalam membahas mengenai sejarah, sekalipun tersedia metode periodesasi yang bisa menjembatani sejauh mana konteks masa lalu dianggap sejarah. Namun, sejauh apapun kita membahas masa lalu, yang terpenting dari proses penggalian sejarah adalah kesadaran akan keberadaan kita sebagai bagian dari proses sejarah itu sendiri. Oleh karenanya, sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, hendaknya kita mengenali sejarah peradaban media yang ada di Tanah Air karena saat ini kita merupakan aktor-aktor yang bertanggung-jawab atas maju-mundurnya peradaban media  di Indonesia pada suatu saat kelak.
Banyak manfaat yang diperoleh melalui kunjungan ke dua lokasi bersejarah ini. Baik Lokananta maupun Monumen Pers Nasional telah sangat memperluas wawasan tentang sejarah komunikasi dan media di Indonesia. Tidak hanya itu, kunjungan ini juga memberi pedoman dalam menemukan dan menyusun partikel-partikel sejarah peradaban media nasional, sehingga mulai tampak jelas bagaimana arus informasi dan media komunikasi berkembang di Indonesia hingga mencapai euforianya di masa kini.