Study Tour : Lokananta & Monumen Pers Nasional
Pada hari Kamis, 2 Mei 2013 lalu, kelas matakuliah
Sejarah Komunikasi dan Media dari Jurusan Ilmu Komunikasi UGM mengadakan studi
tur ke Solo. Pada kesempatan ini,
dilakukan kunjungan ke dua tempat bersejarah yang memiliki arti dan
peran serta yang penting dalam sejarah perkembangan media di Indonesia, yaitu Lokananta
dan Monumen Pers.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ir.
Soekarno dengan semboyannya “Jangan
Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” – yang biasa disingkat menjadi Jas Merah,
sejarah perlu selalu dibina dan dilestarikan untuk menjaga kearifan budaya
dan jati diri masyarakat selaku keturunan leluhur bangsa. Kehidupan bangsa saat
ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai peristiwa yang telah dilewati sejarah. Perlu
diingat bahwa sejarah terbentuk dari jaring-jaring kehidupan masa lalu yang
saling tumpang-tindih, menopang sekaligus menggugurkan satu sama lain, dan di
lain sisi juga membaurkan berbagai aspek kehidupan di masa lalu, seperti aspek
ekonomi, politik, pendidikan, penerapan
teknologi, dan budaya. Pembauran dari aspek-aspek kehidupan ini-lah yang
kemudian melahirkan tatanan kehidupan sebagaimana adanya saat ini. Demikian
pula halnya dengan kehidupan media di Indonesia. Keberadaan media komunikasi di
masa kini tidak terlepas dari perkembangan dan jatuh-bangun peradaban media
pada periode-periode sebelumnya. Perkembangan media dan fasilitas media
komunikasi di Indonesia pun tampaknya juga senantiasa berkaitan dengan
aspek-aspek kehidupan lainnya.
Melalui kunjungan ke Lokananta dan
Monumen Pers ini, para mahasiswa pengampu mata kuliah Sejarah Komunikasi dan
Media dari jurusan Ilmu Komunikasi UGM berusaha menggali dan mengeksplorasi sejarah
dan perkembangan media di Indonesia, sebagai sebuah usaha untuk memperluas wawasan
mengenai jati diri bangsa dan kompleksitas sejarah media di Indonesia.
Tempat bersejarah yang menjadi
objek kunjungan pertama adalah Lokananta. Nama Lokananta diambil dari nama
seperangkat alat Gamelan di Suralaya, yaitu Istana Dewa-dewa di Khayangan dalam
legenda pewayangan. Dalam legenda ini dikisahkan bahwa Gamelan Lokananta dapat
berbunyi sendiri tanpa penabuh.
Pada suatu masa dalam sejarah, Lokananta
merupakan satu-satunya studio rekaman di Indonesia, sekaligus menjadi mayor
label dalam industri musik Indonesia. Pada masa-masa itu-lah Lokananta meraih
masa-masa keemasannya. Selama tiga dekade (1960 – 1980) Lokananta menjadi
pelopor dalam dunia rekaman di Indonesia, yang memproduksi piringan hitam dan
pita ring master. Tidak hanya itu, Lokananta juga mengorbitkan artis-artis legendaris
yang merupakan pemusik papan atas di masa itu, seperti Titik Puspa, Adi Bing
Slamet, Gesang, dan Waldjinah. Tidak heran apabila pada masa kejayaan ini nama
Lokananta sangat dikenal di berbagai penjuru Tanah Air. Anak muda maupun orang
tua pasti tidak asing dengan nama pelpor studio rekaman ini.
Pada tahun 1990-an, Lokananta
mengalami masa-masa sulit yang mengakibatkan terjadinya kemunduran dalam banyak
hal. Pada masa ini penjiplakan mulai tumbuh subur di Tanah Air, yang tentunya sangat merugikan Lokananta selaku produsen
musik. Seiring dengan maraknya fenomena penjiplakan, terdapat 70 label baru
yang berkembang pesat dan menjadi alternatif bagi pasar yang tadinya hanya
dikuasai oleh Lokananta. Tidak hanya itu, pada tahun 1998-an Lokananta harus
menanggung beban yang berat akibat adanya kebijakan Likuidasi BUMN oleh
Presiden Gusdur. Dengan adanya kebijakan tersebut, Lokananta terbelit berbagai
permasalahan terkait birokrasi perusahaan dan hubungan administratif dengan
pemerintah. Akibatnya, hingga tahun 2001, kehidupan Lokananta terkatung-katung.
Kepemimpinan Lokananta berganti-ganti dalam periode yang singkat, pemasaran
yang dilakukan nyaris mendekati nol hingga kegiatan pasar pada akhirnya ditutup
dan Lokananta dikatakan failiet (2001). Mengingat betapa luar biasanya aset
yang dimiliki Lokananta untuk proses perekaman suara, maka hal utama yang
dilakukan dalam menempuh masa-masa sulit ini adalah menjaga dan merawat aset-aset
Lokananta.
Kini Lokananta tengah berada dalam
tahap konsolidasi. Berkat segenap usaha promosi sukarela, dan berbagai bantuan serta
kerjasama yang diperoleh, Lokananta kembali mengalami perkembangan yang positif dan
signifikan di masa kini. Setelah melalui fase-fase yang bagaikan “mati suri”
tersebut, kunjungan ke Lokananta di hari-hari ini pun meningkat, baik kunjungan
yang bersifat lokal maupun nasional. Pada tahap konsolidasi ini Lokananta hendak
berkembang untuk mewujudkan diri sebagai museum perekaman di Indonesia.
Melalui perkembangan ini, diharapkan
agar Lokananta dapat menyebarluaskan budaya dan mengemban visinya sebagai pusat
pengembangan budaya.
Di sisi lain, Lokananta terus
menjalankan aktivitas rekamannya, yang akhir-akhir kerap diminati oleh
artis-artis papan atas seperti Glenn Fredly, Efek Rumah Kaca, White Shoes, dan
lain-lain. Aktivitas yang dijalani di Lokananta meliputi seluruh kegiatan dalam
memproses musik secara utuh, yaitu mulai dari rekaman hingga mastering, dan dari
produksi sampai pemasaran. Atau, sebagaimana tertera pada papan namanya,
kegiatan dan fasilitas yang tersedia di Lokananta meliputi Recording Studio, Audio Video Duplicating, Broadcasting, Multimedia,
Printing, dan Publishing. Dalam
melakukan berbagai aktivitas ini, studio Lokananta masih mempertahankan penggunaan
aset yang dimiliki sejak jaman dulu. Kualitas dari aset-aset tersebut memang
terbilang luar biasa, yang sebagian besar teryata merupakan barang-barang produksi
Eropa.
Belakangan ini Lokananta juga
menjalin hubungan kerja sama dengan salah satu universitas di Semarang. Kerja
sama ini bertujuan untuk menciptakan sebuah gamelan
touchscreen, yang memungkinkan
seseorang membunyikan gamelan tanpa menghadirkan peralatan musik gamelan secara
fisik. Hal yang ingin dipertahankan dan dilestarikan melalui innovasi ini
adalah suara (audio) dari gamelan itu sendiri. Penemuan ini bertumpu pada
pemikiran bahwa sejarah tidaklah semata-mata bertumpu pada artefak-artefak
fisik yang tampak secara visual. Artefak-artefak berupa audio juga merupakan
peninggalan sejarah yang penting, khususnya jika dikaitkan dengan konteks perkembangan
media dan komunikasi di masa lalu. Oleh karenanya, artefak audio juga perlu
dilestarikan dan dibina oleh para anggota budaya bangsa. Di India, misalnya,
gamelan sudah dijiplak dan diakui sebagai budaya setempat. Sekalipun alat musik
yang ada di India tersebut berbeda wujud fisiknya dari gamelan yang ada di
Indonesia, suaranya ternyata sama.
Target kunjungan kedua pada hari
itu adalah Monumen Pers Nasional. Monumern Pers Nasional merupakan salah satu jejak
peninggalan sejarah pers Indonesia. Monumen Pers Nasional
Gedung yang kini dikenal sebagai Monumen
Pers Nasional itu pada awalnya bernama Sociteit Sasana Suka, yang didirikan
oleh Sri Mangkunegoro VII pada tahun 1918. Gedung ini telah melahirkan
organisasi Persatuan Wartawan Indonesia pada tanggal 9 Februari 1946. Bersama
dengan pergerakan perjuangan bangsa Indonesia di masa itu, PWI merupakan pilar
dari perjuangan pers nasional, yang turut berperan dalam mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa dalam gerbang kemerdekaan.
Monumen Pers Nasional mengabadikan
berbagai peninggalan sejarah pers dalam berbagai rupa koleksi. Mulai dari
benda-benda pers yang unik dan bersejarah – seperti Pemancar Radio Kambing
(disebut demikian karena pada masa penjajahan dulu sempat disembunyikan di
dalam kandang kambing agar tidak tertawan oleh pasukan colonial), Mesin Ketik
Bakie Soerieatmaja, dan Baju Pers Hendro Soebroto (seoarng wartawan perang yang
pernah mengalami perang sengit pada masa pengintegrasian Timor-Timur), hingga
beragam koran, majalah, dan literatur kuno yang sudah ada sejak jaman
penjajahan. Menarik, di tempat di mana berbagai wujud literatur peninggalan sejarah
terdokumentasikan secara rapih dan terstruktur ini, kita bisa mengakses dan
menemukan kesinambungan di antara bahan-bahan bacaan dan informasi yang pernah ‘menerpa’
para generasi terdahulu sehingga dapat memahami konteks kehidupan pada masa itu
secara lebih luas.
Dalam rangka melestarikan dan
membina sejarah pers nasional di Indonesia, monument pers juga dilengkapi oleh
berbagai fasilitas edukatif yang terbuka untuk umum. Baik fasilitas maupun
koleksi yang tersedia merupakan pelayanan berbasis sejarah untuk mewujudkan
Monumen Nasional Pers sebagai Pusat Rujukan Pers Nasional berbasis Teknologi
Informasi. E-Paper, Media Center, Papan paca, dan perpustakaan merupakan beberapa
contoh dari sekian banyak fasilitas yang disediakan oleh Monumen Pers Nasional.
Tidak ada titik akhir dalam
membahas mengenai sejarah, sekalipun tersedia metode periodesasi yang bisa
menjembatani sejauh mana konteks masa lalu dianggap sejarah. Namun, sejauh
apapun kita membahas masa lalu, yang terpenting dari proses penggalian sejarah adalah
kesadaran akan keberadaan kita sebagai bagian dari proses sejarah itu sendiri. Oleh
karenanya, sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, hendaknya kita mengenali sejarah
peradaban media yang ada di Tanah Air karena saat ini kita merupakan aktor-aktor
yang bertanggung-jawab atas maju-mundurnya peradaban media di Indonesia pada suatu saat kelak.
Banyak manfaat yang diperoleh melalui
kunjungan ke dua lokasi bersejarah ini. Baik Lokananta maupun Monumen Pers
Nasional telah sangat memperluas wawasan tentang sejarah komunikasi dan media
di Indonesia. Tidak hanya itu, kunjungan ini juga memberi pedoman dalam
menemukan dan menyusun partikel-partikel sejarah peradaban media nasional,
sehingga mulai tampak jelas bagaimana arus informasi dan media komunikasi berkembang
di Indonesia hingga mencapai euforianya di masa kini.